Picture : Hello Ditta |
“Ketika raga sudah terlalu tua untuk berlari, saat semua mimpi masa muda telah terpenuhi, yang kita inginkan hanyalah rekan menghabiskan hari tua. Membangun percakapan tanpa bosan, tertawa sampai napas tersengal-sengal, menenangkan satu sama lain… hingga ajal menjelang.”
Dan apakah kamu sejalan dengan ku, mengenai urusan cinta? sebenarnya keinginanku sederhana untuk urusan seperti ini, mendapatkan partner yang bisa diajak bicara dan bertutur sapa hingga hari tua. Percakapan pun boleh tentang apa saja, dari acara televisi yang semakin lama semakin memusingkan, musik anak muda yang kadang juga membingungkan, hingga si bungsu yang sudah lama tak menelepon atau si menantu yang kita kira pendiam tapi ternyata hobi menyanyi di kamar mandi. Duduk-duduk di beranda ketika senja. Jika dingin merasuki cuaca, kuambilkan kamu selimut dari ruang keluarga. Hingga malam jatuh perlahan di pelipis kita.
“Aku pun tak menolak jika kamu ajak pergi ke tengah kota. (Ah, semoga saja tempat-tempat yang kerap kita kunjungi waktu muda masih ada.) Sebab apapun yang kita kerjakan, di manapun kita melewatkan malam… Kita tak akan kehabisan bahan kelakar.”
Pikiranku semakin liar ketika memikirkanmu, kodrat manusia yang notabene bukanlah untuk sendirian. Karna menghabiskan waktu denganmu adalah obat bagi rasa kesepian. Kita hidup di dunia yang sinis. Berkali-kali aku disarankan untuk menerima seseorang karena alasan pragmatis, entah itu soal tampang, uang, latar belakang, atau jaminan kemapanan di masa depan. “Ingat, Nak, cinta tak bisa dimakan!”
Siapa juga yang mau makan cinta? Kamupun sepertinya sepakat akan hal ini kan? Hingga kini saja aku masih tak tahu bagaimana bentuknya. Sekali lagi, prinsipku sederhana, jika ia tak punya daya bicara dan selera tawa yang meyakinkan untuk mengisi waktu-waktu kami bersama di hari tua, lebih baik sekarang mundur saja.
Bukannya aku buta pada pentingnya kualitas lain dalam hubungan cinta. Tentu saja aku tak boleh serta-merta jatuh cinta pada seseorang hanya karena ia pandai bicara. Ada beberapa hal yang harus jadi pertimbangan juga, pekerjaan yang jelas halalnya, keluwesan bercengkerama dengan keluarga, ketaatan pada agama. Toh asa untuk “mengobrol di hari tua” dengan “secangkir teh hangat di beranda” juga tidak akan bisa tercapai kalau hidup kami terlalu susah untuk sekadar punya rumah.
Kemapanan tentu krusial untuk memastikan bahwa hidup kita baik-baik saja. Namun kecocokan, kemauan untuk mendengarkan, serta keberanian untuk berbicara hati ke hati: itulah yang membuat hidup ini istimewa. Dan kualitas-kualitas itulah yang terlalu sering dilupakan manusia.
“Dicap naif? Biar saja. Aku juga tahu rasa cinta punya tanggal kadaluarsa. Tapi justru karena itu aku ingin seseorang yang bisa membuatku jatuh cinta berkali-kali. Belum habis rasa yang lama, aku akan dipaksa untuk jatuh cinta lagi.”
Kamu pernah mendengar, Tak semua rasa cinta pudar dimakan waktu. Terus apa yang membuatnya bertahan, dan sekrang aku ingin tahu. Dan aku mau mencari jawabannya bersamamu.
Sekilas cita-citaku ini memang terdengar kelewat tinggi. Apalagi bagi mereka yang pernah terpuruk karena urusan hati. Tapi sebagaimana mereka, aku pun pernah merasa tak mungkin jatuh cinta lagi. Hidup kujalani dalam moda mekanik: seperti robot yang mampu berjalan, tidur, dan menyantap sarapan, namun tak tahu makna emosi. Untuk waktu yang lama, aku percaya bahwa manusia memang ditakdirkan sendiri. Bahwa mereka yang saling mencintai adalah dua insan delusional yang layak dikasihani.
Namun kita mengenal paling tidak satu pasangan yang terus bisa mempertahankan rasa hingga umur mereka tak lagi muda. Bukankah kamu juga pernah menyaksikan sepasang manula bergandengan tangan, yang wanita melangkah ringan, yang pria membisikkan sesuatu di telinga yang wanita, sedangkan yang wanita tertawa? Tidakkah kamu berharap menjadi mereka jikala tua?
“Tentu ini bukan perkara ringan. Mereka yang masih bisa mencintai dan saling menemani hingga usia tak lagi muda adalah yang cukup beruntung untuk mengerti “formula rahasia”. Apapun formula rahasia itu, sekarang aku tak mengetahuinya. Tapi hei — kita punya seumur hidup untuk menemukannya bersama.”
Dan selama 2 hari itu aku terus saja berpikir, Aku ingin berkali-kali jatuh cinta pada manusia yang sama. Dan manusia itu kamu, ingin rasanya bilang Maukah kamu tumbuh bersamaku, hingga hari tua kita? Dan sudah ku utarakan hal itu, tapi kenyataannya sungguh diluar harapan. “Tidak ada kesempatan lagi, Aku terlambat”,
Mungkin harus kuhentikan bicaraku sekarang. Orang bisa semakin menuduhku bermimpi jika kubuka mulut lebih lebar.
Tapi harapanku tetap sama: aku ingin jatuh cinta padamu, lagi dan lagi, hingga habis usia kita. Semoga saja, kamu menyimpan doa kecil yang samakan ?